Bersama Pram-Rano; Mengukir Jalur Baru, Kepemimpinan Non Populis di Jakarta.

Penulis Artikel : Chairunnisa
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UNAS)

Jakarta – Politik lokal, sebagai arena interaksi antara aktor-aktor politik, masyarakat, dan institusi, memegang peran krusial dalam membentuk arah pembangunan dan kualitas hidup masyarakat, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Jakarta, sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan budaya, menghadapi tantangan yang kompleks dan dinamis. Mulai dari permasalahan transportasi, kemacetan, banjir, kesenjangan sosial, hingga isu lingkungan. Tantangan-tantangan ini memerlukan kepemimpinan yang tidak hanya responsif, tetapi juga memiliki visi jangka panjang, berbasis data, dan mampu melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi model kepemimpinan non-populis sebagai alternatif yang menjanjikan bagi gaya populis yang kerap mendominasi lanskap politik.
Terpilihnya Pramono Anung Wibowo sebagai Gubernur Jakarta periode 2025-2030, bersama dengan wakilnya Rano Karno, menjadi hal yang menarik.

Keduanya merepresentasikan pendekatan yang berbeda dari gaya kepemimpinan populis yang seringkali mengandalkan retorika sederhana dan janji-janji instan. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji potensi kepemimpinan non-populis dalam konteks tantangan dan peluang yang dihadapi Jakarta. Dengan menganalisis karakteristik kepemimpinan non-populis, membandingkannya dengan kepemimpinan populis, dan mengkaji dampak kebijakan mereka, tulisan ini diharapkan memberikan manfaat terhadap pemahaman tentang tata kelola pemerintahan yang efektif dan berkelanjutan.

Untuk memahami potensi kepemimpinan non-populis, penting untuk terlebih dahulu memahami konsep populisme. Populisme, sebagai ideologi tipis (Mudde, 2004), memiliki inti yang sederhana, membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang saling bertentangan “rakyat murni” yang dianggap baik dan benar, dan “elite korup” yang dianggap jahat dan mementingkan diri sendiri. Populisme berakar pada klaim bahwa elite politik, ekonomi, dan intelektual tidak mewakili kepentingan rakyat, dan bahwa sistem politik harus mencerminkan kehendak rakyat secara langsung. Taggart (2000) mendefinisikan populisme sebagai gaya politik yang menekankan hubungan langsung antara pemimpin dan rakyat, seringkali dengan mengabaikan atau melemahkan institusi perantara seperti partai politik dan parlemen.

Kaufman (2015) menyoroti pentingnya aspek psikologis dalam populisme, seperti peran emosi, identitas, dan rasa memiliki dalam memobilisasi dukungan. Populisme seringkali memanfaatkan sentimen nasionalisme, identitas budaya, atau ketidakpuasan ekonomi untuk mengumpulkan dukungan. Rodrik (2018) membahas hubungan antara populisme dan globalisasi, yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap globalisasi, seperti dampak negatif perdagangan bebas dan migrasi, dapat mendorong kebangkitan populisme. Foa & Mounk (2016) mengingatkan bahwa meskipun populisme dapat menjadi kekuatan untuk perubahan, ia juga memiliki potensi untuk merusak demokrasi dengan melemahkan institusi dan pluralisme.

Kepemimpinan Non-Populis: Alternatif yang Berkelanjutan
Sebagai alternatif dari populisme, kepemimpinan non-populis menekankan pada kompetensi teknis, pendekatan berbasis data, kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, dan fokus pada pembangunan berkelanjutan. Pemimpin non-populis cenderung menghindari retorika populis yang simplistik dan janji-janji instan, lebih memilih solusi yang komprehensif dan berbasis bukti. Mereka melihat tantangan perkotaan sebagai masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multidisiplin dan keterlibatan berbagai pihak.
Karakteristik utama kepemimpinan non-populis diantaranya; Teknokrasi, penekanan pada keahlian teknis dan penggunaan data untuk pengambilan keputusan. Pemimpin non-populis mengandalkan para ahli dan data untuk mengidentifikasi masalah, merancang solusi, dan mengevaluasi efektivitas kebijakan. Kolaborasi, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ahli, masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah pusat. Kepemimpinan non-populis mendorong kerjasama dan sinergi untuk mencapai tujuan bersama. Integritas, komitmen terhadap transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Pemimpin non-populis berusaha untuk menciptakan lingkungan pemerintahan yang bersih, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Orientasi Jangka Panjang, fokus pada pembangunan berkelanjutan dan solusi jangka panjang daripada keuntungan politik jangka pendek. Kepemimpinan non-populis mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan mereka terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. Inklusivitas, upaya untuk menjembatani kepentingan berbagai kelompok masyarakat, termasuk minoritas dan kelompok marginal. Pemimpin non-populis berusaha untuk memastikan bahwa semua warga negara memiliki akses yang sama terhadap kesempatan dan manfaat pembangunan.

Kepemimpinan non-populis, dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada hasil, menawarkan potensi besar untuk mengatasi tantangan kompleks perkotaan. Namun, keberhasilan mereka bergantung pada kemampuan untuk membangun kepercayaan publik, memperkuat institusi, dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Pramono Anung Wibowo-Rano Karno memberikan kesempatan untuk mengkaji potensi kepemimpinan non-populis dalam konteks pembangunan perkotaan. Pramono, sebagai seorang politisi yang memiliki pengalaman luas di pemerintahan pusat dan daerah, dikenal memiliki fokus yang kuat pada kompetensi teknis dan pendekatan berbasis data. Dalam kampanye, ia menekankan pentingnya melanjutkan program pembangunan yang telah dirintis pemerintah pusat, daripada menggunakan narasi “melawan elite” yang khas populisme. Hal ini mencerminkan komitmennya terhadap pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada hasil.

Beberapa contoh kebijakan dan pendekatan yang mencerminkan gaya kepemimpinan non-populis Pramono-Rano adalah: Fokus pada Data dan Analisis. Pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Pramono-Rano secara aktif menggunakan data untuk mengidentifikasi masalah dan merancang solusi. Contohnya, penggunaan data transportasi publik untuk mengoptimalkan rute, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi kemacetan. Data juga digunakan dalam reformasi birokrasi untuk meningkatkan pelayanan publik dan mengurangi praktik korupsi. Jasanoff (2004) menekankan pentingnya “negara pengetahuan” dalam pengambilan keputusan, di mana data dan bukti ilmiah digunakan untuk menginformasikan kebijakan publik.

Kolaborasi dengan Berbagai Pemangku Kepentingan. Pramono-Rano melibatkan para ahli, masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah pusat dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.

Pendekatan kolaboratif ini bertujuan untuk menciptakan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Contohnya, dalam penanganan banjir, pemerintah daerah melibatkan ahli hidrologi, pakar lingkungan, dan perwakilan masyarakat dalam merancang solusi yang terintegrasi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik, yang menekankan partisipasi dan akuntabilitas.

Penolakan terhadap Retorika Populis. Pramono-Rano menghindari dikotomi moral dan fokus pada sinergi antara pemerintah daerah dan pusat. Mereka tidak menggunakan retorika yang memecah belah atau janji-janji instan, melainkan menekankan pada kerja keras dan solusi jangka panjang. Hal ini berbeda dengan gaya kepemimpinan populis yang seringkali mengandalkan retorika yang menyederhanakan masalah dan memicu emosi.

Pendekatan Inklusif. Pemerintah daerah berusaha untuk menjembatani kepentingan berbagai kelompok masyarakat, termasuk minoritas dan kelompok marginal. Contohnya, dalam program pembangunan perumahan, pemerintah daerah berupaya menyediakan rumah yang layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Inklusivitas merupakan prinsip penting dalam pembangunan berkelanjutan, yang menekankan pentingnya keadilan sosial dan kesetaraan.

Perbandingan Populisme vs. Non-Populisme
Untuk lebih memahami perbedaan antara kepemimpinan populis dan non-populis, penting untuk membandingkan pendekatan mereka terhadap berbagai isu.
Transportasi Umum.
Kepemimpinan Populis: Pemimpin populis mungkin menawarkan solusi cepat dan populer, seperti tarif transportasi murah tanpa mempertimbangkan keberlanjutan finansial. Mereka mungkin mengandalkan retorika tentang “membela rakyat” yang terbebani biaya transportasi. Kepemimpinan Non-Populis: Pemimpin non-populis akan fokus pada solusi berbasis data, seperti optimalisasi rute, peningkatan kualitas layanan, investasi jangka panjang dalam infrastruktur, dan subsidi yang terarah. Mereka akan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan mereka terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Penanganan Banjir.
Kepemimpinan Populis: Pemimpin populis mungkin menyalahkan pihak tertentu (misalnya, pemerintah pusat atau pengembang properti) dan menawarkan solusi simplistik, seperti pengerukan sungai secara sporadis atau pemberian bantuan sementara. Kepemimpinan Non-Populis: Pemimpin non-populis akan mengadopsi pendekatan multidimensi, melibatkan ahli, masyarakat, dan sektor swasta dalam perencanaan dan pelaksanaan solusi, seperti pembangunan infrastruktur pengendalian banjir, penataan tata ruang, dan peningkatan kesadaran masyarakat. Hal ini akan mempertimbangkan akar permasalahan dan mencari solusi yang berkelanjutan.
Kesenjangan Sosial.

Kepemimpinan Populis: Pemimpin populis mungkin menawarkan program bantuan sosial yang bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan, atau retorika yang menyalahkan kelompok tertentu atas kesenjangan. Kepemimpinan Non-Populis: Pemimpin non-populis akan fokus pada kebijakan yang lebih komprehensif, seperti peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, penciptaan lapangan kerja, dan program pemberdayaan masyarakat. Mereka akan berupaya menciptakan kesempatan yang sama bagi semua warga negara.

Survei SMRC (2024): menunjukkan dukungan stabil sebesar 46% terhadap Pramono-Rano, yang mengindikasikan bahwa pemilih Jakarta mulai menghargai kompetensi dan kinerja daripada retorika populis. Angka ini menunjukkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan non-populis. Program 100 Hari, Pemerintah Daerah telah meluncurkan 40 program percepatan dalam 100 hari pertama kepemimpinan, mencakup sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, dan ekonomi. Program-program ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Peningkatan Kualitas Hidup, pemerintah Daerah memperpanjang jam operasional taman kota dan mengembangkan layanan digital melalui aplikasi JAKI. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempermudah akses terhadap layanan publik. Castells (2010) mencatat bagaimana teknologi dan jaringan informasi dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi publik dan transparansi. Aplikasi JAKI adalah contoh nyata dari bagaimana teknologi dapat mendukung kepemimpinan non-populis.

Tantangan dan Peluang Kepemimpinan Non-Populis di Jakarta
Kepemimpinan non-populis di Jakarta memiliki potensi untuk memberikan dampak positif bagi pembangunan dan demokrasi. Namun, ia juga menghadapi tantangan. Krisis Legitimasi, pemimpin non-populis perlu membangun kepercayaan dan mendapatkan dukungan publik. Hal ini dapat dicapai melalui transparansi, akuntabilitas, dan kinerja yang baik. Transparansi dan Partisipasi Publik, memperkuat anggaran dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah daerah mencerminkan kebutuhan masyarakat. sedangkan peran media dan masyarakat sipil, mendukung literasi politik dan peran aktif jurnalis dalam mengangkat isu substansial. Media dan masyarakat sipil dapat berperan penting dalam mengawasi kinerja pemerintah daerah dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah daerah berpihak pada kepentingan publik.
Namun, keberhasilan kepemimpinan non-populis tidak datang tanpa tantangan. Untuk memastikan keberlanjutan, pemimpin non-populis perlu membangun kepercayaan publik, memperkuat transparansi, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks teori Mudde, Pramono-Rano membuktikan bahwa kepemimpinan lokal bisa efektif tanpa terjebak dalam dikotomi ‘rakyat vs elit’, sebagai langkah penting menuju tata kelola yang berkelanjutan, berkeadaban, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Keberhasilan mereka akan menjadi contoh penting bagi daerah lain di Indonesia dalam menghadapi tantangan pembangunan perkotaan dan memperkuat demokrasi lokal. Keberhasilan ini tidak hanya akan berdampak pada Jakarta, tetapi juga dapat menjadi inspirasi bagi kepemimpinan di tingkat nasional. (Redaksi).

Tinggalkan Komentar