PPI Kaltim Soroti Program Transmigrasi di Desa Kerang: Serukan Perlindungan Hak Pemuda dan Masyarakat Lokal

Ketua PPI Kaltim saat menyampaikan pernyataan sikap terkait program transmigrasi di Desa Kerang. PPI Kaltim menyerukan perlindungan hak-hak pemuda dan masyarakat lokal yang terdampak. (ist).

Tana Paser – Dewan Pimpinan Daerah Presidium Pemuda Indonesia (DPD PPI) Kalimantan Timur menyatakan penolakan terhadap kebijakan transmigrasi yang digencarkan pemerintah ke Kalimantan khususnya di Desa Kerang, Batu Engau, Kabupaten Paser. Mereka menilai program tersebut berpotensi mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat serta masa depan pemuda lokal.
“Transmigrasi bukan jalan keluar untuk pembangunan, melainkan jalan masuk bagi masalah baru. Tanah adat yang diklaim ‘kosong’ itu sejak lama sudah menjadi ruang hidup masyarakat. Jika ini diteruskan, yang terjadi adalah penggusuran kultural,” kata Ketua PPI Kaltim, Fadlul Chaliq, dalam keterangannya, Selasa (26/8/2025).
Fadlul, yang akrab disapa Fadel, menegaskan bahwa pembangunan di Kalimantan Timur seharusnya dimulai dengan pemberdayaan masyarakat dan pemuda lokal, bukan dengan mendatangkan penduduk baru dari luar daerah.
“Kami kontra karena kebijakan ini tidak berpihak pada pemuda Kaltim. Di saat anak-anak muda lokal butuh lahan, butuh lapangan kerja, justru tanah diberikan kepada orang luar. Ini kebijakan yang timpang,” tegas Fadel.
PPI Kaltim juga mengingatkan potensi konflik horizontal antara masyarakat lokal dan warga transmigran apabila kebijakan ini tetap dijalankan tanpa kejelasan mengenai hak tanah masyarakat adat.
“Pemerintah harus belajar dari sejarah. Banyak konflik agraria di Indonesia berawal dari program transmigrasi yang tidak transparan. Kami tidak ingin itu terulang di Kaltim,” ujarnya.
Fadel menyatakan bahwa penolakan pihaknya memiliki dasar hukum yang kuat. Ia merujuk pada:
UU No. 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian, khususnya Pasal 3 yang mewajibkan program transmigrasi memperhatikan kearifan lokal.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 ayat (2), yang menyebutkan identitas budaya masyarakat adat harus dilindungi dari tindakan yang bersifat pemaksaan.
Perda Kaltim No. 5 Tahun 2012, yang mengatur bahwa pelaksanaan transmigrasi tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat lokal dan harus mencegah terjadinya konflik sosial.
“Kalau aturan itu dijalankan dengan benar, maka jelas kebijakan transmigrasi di Desa Kerang ini tidak bisa dipaksakan,” katanya.
Sebagai sikap resmi, PPI Kaltim mendesak pemerintah menghentikan program transmigrasi di Desa Kerang hingga ada kejelasan soal hak atas tanah masyarakat adat. Mereka juga menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan transmigrasi yang dinilai hanya menjadi proyek pendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Kalau pemerintah tetap memaksakan program ini, itu sama saja membuka pintu konflik. Kami berdiri di barisan kontra, demi keadilan untuk masyarakat adat dan pemuda Kaltim,” pungkas Fadel. (ARN).

Tinggalkan Komentar